“Lalu apakah kamu pernah mendapat beasiswa?” pemuda menggelengkan kepalanya. Kemudian direktur ini bertanya dimana ia dan ibunya tinggal serta apa pekerjaannya, dan si pemuda menjawab bahwa ia dan ibunya tinggal dipinggiran kota serta ibunya bekerja sebagai buruh cuci pakaian. Tak lama setelah itu si direktur mengulurkan tangannya untuk melihat kondisi kedua tangan pemuda ini.
“Apakah kau pernah membantu ibumu mencuci?”
“Tidak, ibu selalu ingin saya belajar dan membaca banyak buku pelajaran. Kemampuan mencucinya lebih hebat daripada saya.” Jawab si pemuda.
Sang direktur pun mengatakan sebuah permintaan kepada si pemuda ketika ia pulang dari tempat itu, ia meminta untuk membersihkan dan mengelap tangan ibunya. Merasa peluang bagus di depan mata, pemuda ini pun melakukan apa yang diminta sang direktur kepadanya. Sesampainya dirumah sang ibu terheran-heran dengan apa yang dilakukan anaknya, tapi biarpun begitu ia senang dan merasa terharu dengan sikap yang dilakukan oleh puteranya.
Dan saat si pemuda ini membersihkan tangan ibunya, saat itu ia menyadari ada begitu banyak luka di tangan sang ibu serta memar-memar kebiruan. Si pemuda begitu tersentuh hatinya dan menyadari bahwa selama ini perjuangan ibunya benar-benar keras untuk mendapatkan uang dan menyekolahkannya hingga lulus di tingkat universitas dengan nilai yang sangat baik.
Keesokan harinya si pemuda datang kembali dan menemui sang direktur. Ketika mereka saling berhadapan, si pemuda tidak mampu menahan air matanya karena ia masih teringat akan kedua tangan ibunya. Mereka terdiam sejenak dan setelah itu sang direktur mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Bisakah kamu mengatakan apa yang saat ini sedang kau rasakan?”
Si pemuda ini menjawab, “Aku telah melakukan apa yang Direktur suruh kepadaku kemarin, dan aku menyadari betapa kerasnya perjuangan ibuku untuk aku selama ini. Aku merasa beruntung mempunyai ibu seperti ibuku dan aku mendapat sebuah pelajaran hidup yang baru. Saya menghargai semua yang telah ibu saya lakukan untuk saya”
Tanpa basa-basi, sang direktur langsung menerima pemuda ini bekerja diperusahaan yang dikelolanya lalu menjabat dengan kuat tangan si pemuda. “Orang seperti inilah yang sedang saya cari. Saya mencari seseorang yang dapat menghargai segala sesuatu dan bantuan orang lain, yang mengerti penderitaan orang lain dan tidak menjadikan uang sebagai tujuan utamanya.”
Setelah proses interview tersebut, si pemuda diterima bekerja dan menjalani pekerjaannya dengan sangat baik. Jenjang kariernya berkembang hingga ia dikenal sebagai seorang manajer yang baik.
Sobat Gemintang, kita mendapat begitu banyak pelajaran dari kisah diatas. Dalam dunia kerja kita tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan setiap tugas dengan baik, tapi kita juga harus bisa menghargai pekerjaan orang lain. Bekerja dengan hati yang tulus dan tidak mejadikan uang sebagai prioritas utama kita dalam hidup ini. Pelajaran lainnya yang kita dapat adalah kasih sayang seorang ibu yang tulus untuk anaknya. Dan sebagai anak, sudah sepatutnya kita menghargai semua jerih payah beliau dengan penuh rasa hormat. Kalau pemuda tersebut bisa, kita pun juga harus bisa!
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Kisah perjalanan hidup A Pramono
(34) mirip cerita sinetron. Belasan tahun lalu, ketika pria kelahiran
Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia memulainya dengan
menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?
Ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono
ini buru buru menambahkan bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati
proses yang cukup panjang. la meyakini, dalam hidup ini tidak ada
sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat perjuangan.
“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau
tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke pasar jam tiga dinihari.
Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan orang masih
tidur,” ujar Pramono.
Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam
bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, persisnya di seberang
Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari libur dia
menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan
sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai
pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran
yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada
gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak
habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang
menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3
(maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan
laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari
Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu
bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka
fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akari sukses.
Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan
saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu
dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat,
sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan,sekarang tabungan banyak di
bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai
persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono
dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang
baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan
bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan
lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus
meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya
cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf
hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan
orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
“Banyak saudara saya yang tidak terima
dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp
15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan,
Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di
seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli
gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir
mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir.
Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir
macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah,
ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan
otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Terlepas dart peristiwa itu, beberapa
tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono berkembang pesat. Dia mempunyai
13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000 ekor ayam. “Sampai
sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-pramono-dari-office-boy-menjadi-milyader.html#sthash.1QuqARF3.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar