Pada suatu malam di akhir bulan september, 1986...
Di sebuah bar kecil pinggiran kota. Arya menyesap minumannya pelan. Sudah dua jam ia duduk menyendiri di bangku paling pojok dekat jendela. Ia memandang ke sekeliling ruangan, malam semakin larut dan bar kecil itu semakin ramai oleh para pengunjung yang mayoritas para serdadu yang baru pulang bertugas dan haus akan hiburan. Dia datang ke bar tersebut bersama teman-temannya, tapi seperti biasa sesampainya didalam bar dia memisahkan diri dari teman-temannya dan selalu mengambil tempat sendirian. Beberapa temannya yang larut dalam keriuhan memanggil dan melambai ke arahnya, mengajaknya untuk bergabung, namun Arya hanya menyungging senyum tipis, menggeleng dan mengangkat gelasnya.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Seharusnya ini saat yang tepat baginya untuk bersenang-senang mengingat dua hari yang akan datang dia harus mempersiapkan diri untuk penugasan selama be-berapa bulan di pulau timor, seharusnya hal itu membuatnya jadi seorang laki-laki buas yang haus akan hiburan selayak teman-temannya yang lain. Akan tetapi, dia malah memilih menyendiri dan mengendap bersama beberapa botol beer lokal pesanannya. Seperti itulah sifat Arya, sedikit tak menyukai hingar bingar keramaian, tak heran teman-temannya menjulukinya Si Macan Tutul, sesuai dengan karakternya yang penyendiri.
Arya menyesap minumannya lagi, dia memutar tubuhnya kesamping dan mengarahkan pandangan nya keluar jendela. Hujan mulai turun. Dia sejenak termenung, memandangi rintik hujan yang turun dari langit begitu derasnya. Tepat pada saat itulah dia melihat perempuan itu.
Perempuan bermantel dan berpayung hitam itu baru turun dari sebuah sedan holden kingswood keluaran terbaru. Dua mata arya tak berkedip mengamati perempuan berparas cantik itu. Baru kali ini dia dibuat takluk oleh seorang perempuan yang bahkan namanya pun belum dia ketahui. Sekedar mengalihkan pandanganpun dia tak mampu.
Perempuan itu lalu memasuki bar, kehadirannya sontak menyita perhatian seluruh laki-laki di dalam bar tersebut, namun perempuan itu terlihat tak begitu peduli dengan pandangan-pandangan serta siulan siulan nakal yang ditujukan kepadanya. Perempuan itu melepas mantelnya dan menggantung-kannya di dekat pintu masuk bar, dia lalu berbicara beberapa saat dengan seorang lelaki gendut berkumis caplin yang tampak nya supervisor bar, sebelum akhirnya ia berjalan lagi menuju panggung kecil disamping meja bartender.
Musik bar mendadak terhenti, tergantikan suara seorang presenter. Dari apa yang disampaikan presenter tersebut, Arya jadi tau nama perempuan itu. Namanya Claris, seorang biduan baru di bar tersebut. Arya berdehem, Claris..., seperti arti namanya terang benderang, perempuan itu benar-benar sudah menerangi dan menumbukan sebuah benih di dalam perasaan nya.
Claris mulai bernyanyi, suasana bar yang semula riuh mendadak hening. Malam itu Claris melantun kan lagu milik ABBA berjudul I’ve been waiting for you
I, I've been in love before
I thought I would no more
Manage to hit the ceiling
Still, strange as it seems to me
You brought it back to me
That old feeling...
Suasana hening, senyap. Semua orang didalam bar terlarut dalam lirik yang disenandungkan Claris. Suara merdu perempuan itu benar-benar memiliki daya magis yang misterius. Seperti suara seorang siren yang merdu dan mampu mengikat jiwa kehidupan siapapun yang mendengarnya. Suara Claris bisa membuat siapapun yang mendengarnya menjadi terlena dan lupa dengan keadaan sekitarnya. Arya, salah satu orang yang saat ini terikat dalam daya magis suara Claris.
Seberapapun besar penyangkalan yang dilakukannya, pada akhirnya Arya menyerah dan dia tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Dia sudah terikat dalam pesona misterius Claris. Arya menyesap minumannya, kali ini wajahnya nampak gelisah. Kegelisahan seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta. Susah dijelaskan dengan kata-kata, namun mudah ditebak. Claris, perempuan itu kini sudah menjadi ambisinya. Ya, dia berambisi memiliki perempuan itu.
Arya mendesah pasrah, sepertinya susah baginya untuk merealisasikan ambisinya itu dalam waktu dekat. Itu semua tak lepas dari sifat pemalu dan perfeksionis yang dimilikinya. Dua kombinasi sifat yang aneh. Seorang pemalu perfeksionis cenderung menekan dalam-dalam intuisinya, selalu berpikir terlalu rasional, sangat anti kesalahan ataupun kegagalan. Kombinasi sifat yang baik dalam medan pertempuran namun dalam kondisi tertentu akan menimbulkan sedikit masalah khususnya di ke-hidupan bersosialisasi.
Claris benar-benar telah melumpuhkan nyalinya, sampai malam-malam berikutnya pun Arya masih tidak mampu mengutarakan perasaannya, jangankan itu, untuk sekedar memulai perkenalanpun dia tak sanggup. Hanya diam, ya.. yang mampu dia lakukan saat ini hanya diam, menyesap beberapa gelas bir sambil memandang keindahan suara dan mengagumi kecantikan wajah Claris di bangku pojok. Memendam perasaan kepada seseorang yang dicintai itu sungguh menyesakkan.
***
Lima bulan berlalu sejak pertemuan pertama itu...
Arya sudah lama menantikan datangnya malam ini, dengan degub jantung berdebar-debar dia me-langkahkan kakinya menuju Bar tempat Claris bekerja, malam ini dia pergi ke-bar bersama dua orang temannya, Bima dan Sena. Terhitung sudah lima bulan lamanya sejak terakhir kali dia melihat Claris. Dalam masa penugasan di pulau timor, otaknya tak pernah berhenti memikirkan Claris. Dan selama masa penugasan itulah dia baru tersadar jika dirinya sudah benar-benar terobsesi dengan perempuan itu.
Sesampainya di bar, seperti biasa setelah memesan beberapa bir dia langsung mengambil tempat di bangku paling pojok, sementara Bima dan Sena membaur bersama pengunjung lainnya. Arya me-micingkan matanya, melihat ke setiap sudut ruang bar yang tak terlalu luas, namun dia tak menemu-kan Claris. Sementara diatas panggung, hanya ada seorang penyanyi baru yang tidak ia kenal. Hatinya mencelos, dia takut dugaannya benar jika Claris sudah benar-benar tidak lagi bekerja di bar ini.
Ditengah kegalauannya, samar-samar terdengar dentingan piano yang begitu indah. Arya memejam kan kedua matanya, dia sangat mengenal nada dalam setiap dentingan itu. Tak salah lagi, nada-nada instrumental yang dia dengar itu adalah Nocturne op.9 No.2 karya Frédéric Chopin. Setau Arya, sebagai bagian dari tiga nocturne, nada ituadalah potongan-potongan musik yang konon terinspirasi oleh malam. Suasana didalam bar hening. Lima menit berlalu, suara piano itu terhenti, digantikan riuh rendah suara tepuk tangan. Perlahan Arya membuka kedua matanya, lalu memandang sosok yang berada dibalik piano stainway disisi kiri panggung. Dia penasaran dengan si pemain piano.
Arya tercekat dan hampir menumpahkan bir-nya ketika melihat sosok si pianis yang baru saja berdiri dari duduknya. Seorang perempuan, memakai gaun terusan warna hitam dengan hiasan manik-manik yang sederhana, serasi dengan tubuh molek dan paras cantik yang dimilikinya.
“Cla—cla-claris??,”ujar Arya terbata-bata.
Ya, si pemain piano itu adalah Claris. Begitu selesai bermain piano, dengan anggun Claris menaiki panggung dan tak lama berselang diapun mulai bernyanyi. Seisi ruangan kembali hening. Sedikitpun tak ada yang berubah dari perempuan itu. Suara nya yang merdu dan menenangkan. Sedetikpun Arya tak sanggup memalingan pandangannya pada perempuan itu. Pada suatu momen, pandangan keduanya bersirobok. Arya langsung berpaling dan wajahnya bersemu merah, sementara itu Claris tersenyum kecil dibalik nyanyiannya. Ya, satu hal yang tidak diketahui Arya, dari dulu diam-diam Claris juga memperhatikannya
Dari kejauhan Bima dan Sena saling pandang sembari tertawa kecil ketika melihat gelagat konyol yang ditunjukkan Arya. Tanpa disadari Arya, dari tadi dua temannya itu lekat memperhatikan dirinya. Bima dan Sena lebih dari tau jika Arya sudah lama menaruh hati pada Claris. Setiap malam di masa penugasan di pulau Timor, Arya selalu mencurahkan isi hatinya tentang Claris kepada mereka. Awalnya Bima dan Sena cukup kaget sebab setau mereka Arya bukan tipe orang yang suka curhat. Tapi semakin lama mereka semakin mengerti, kadangkala cinta bisa membuat seseorang berubah.
Mereka berdua lalu memiliki sebuah inisiatif untuk melakukan sesuatu untuk Arya. Bima merogoh saku jaket kulitnya dan mengeluarkan selembar sapu tangan. Dia lantas menuliskan sesuatu di sapu tangan itu.
“hei Claris... sebentar saja, tolong palingkan pandanganmu ke arah jam dua. Kau lihat kan, disana ada seorang laki-laki duduk sendirian, nah itu aku, namaku arya. Sudah lama aku memperhatikanmu, bolehkah aku mengenalmu lebih jauh?
Diiringi cengiran Sena, Bima lantas melipat sapu tangan itu dan menyuruh pelayan agar memberikan nya pada Claris begitu perempuan itu selesai bernyanyi. Sesaat setelah selesai bernyanyi pelayan itu melakukan tugasnya, dia memberikan saputangan tersebut kepada Claris. Bima dan Arya menahan tawa ketika melihat ekspresi wajah Claris dari kejauhan. Mereka melihat Claris menuliskan sesuatu di saputangan itu dan setelah itu Claris keluar dari bar.
Si pelayan kembali mendatangi Bima dan Sena, menyerahkan balik sapu tangan tadi. Bima kemudian membuka lipatan sapu tangannya dan membaca tulisan balasan dari Claris.
“temui aku di lantai teratas hotel sebelah bar ini”
Setelah membaca pesan itu, Bima dan Sena langsung bergegas menghampiri Arya dan memperlihat kan isi pesan Claris. Awalnya Arya sempat kaget dan geram dengan kelakuan kedua temannya itu, tapi disisi lain dia girang bukan kepalang. Bima dan Sena lantas memaksa Arya untuk pergi menemui Claris di lantai teratas gedung hotel sebelah. Arya sempat menolak tapi Bima dan Sena berhasil mem bujuknya untuk menemui Claris. Arya melangkahkan kakinya dengan berat, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, di dalam lift yang membawanya menuju lantai teratas dia terus merutuk ulah dua temannya sekaligus berpikir bagaimana memulai obrolan dengan Claris.
Akhirnya dia sampai juga di lantai teratas gedung. Disana dia mendapati Claris sedang berdiri di bibir tembok pembatas. Memandang hamparan kota jakarta dari ketinggian beberapa ratus meter dari permukaan tanah. Arya lalu berjalan dan berhenti tepat disamping Claris. Perempuan itu sejenak menoleh dan tersenyum kecil, lantas memalingkan pandangannya ke atas langit malam yang penuh bintang. Senyuman Claris membuat Arya berdesir mati rasa.
“Ternyata kamu bisa bicara juga ya, aku pikir selama ini kamu si bisu yang hanya berani memperhati kanku dari kejauhan,”ujar claris
Wajah Arya bersemu merah,”ma-ma-maaf a-a-aku hanya tidak tau cara memulai perkenalan denganmu..,”ujarnya sambil terbata-bata
“dasar tentara, selalu saja kaku seperti biasa...,”ujar Claris diiringi tawa kecil.
Detik demi detik berlalu, obrolan yang awalnya kaku perlahan mencair. Arya dan Claris saling bersandar di sofa yang ada di sisi tepi lantai teratas gedung tersebut. Dari sekedar basa-basi, serius hingga obrolan konyol yang mengundang tawa. Malam semakin larut, Arya tersenyum melihat wajah Claris yang tertidur di pangkuannya, perlahan dia melepas jaketnya dan menyelimutkannya ke tubuh Claris.
***
Di waktu yang berbeda...
Tangisan seorang bayi membangunkan tidur Arya, dia membuka matanya dan memandang keluar jendela kereta api. Sebuah plakat biru bertuliskan “STASIUN KOTA BARU” menyambutnya. Setelah merapikan barang bawaannya dia segera turun dari kereta. Hawa dingin dan udara segar langsung menyambutnya. Arya merentangkan tangannya menghirup udara segar.
Walau tak terkatakan, dalam hati Arya bertekad untuk menyimpan rapat-rapat kenangan akan Claris dan malam di lantai atas hotel, menyimpannya di suatu sisi terdalam di lubuk hatinya. Entah kapan dia bisa bertemu lagi dengan perempuan itu, tapi dia tak berharap terlalu banyak.
Arya merasa Tuhan sudah mempermainkan perasaan dia dan claris lewat surat perpindahan tugas yang dia terima kemarin pagi. Kini Arya bertekad untuk lebih jauh masuk ke dalam permainan itu, mengukur sejauh mana efek yang ditimbulkan permainan itu dalam tiap sendi kehidupannya di masa mendatang.
***
cerita ini adalah milik pribadi dari: Imam Maliki & Bayu Riswick
Tidak ada komentar:
Posting Komentar